Belum Waktunya Bicara Kopi

Ketika lama jarang bertemu, Om Tutus, atau lebih dikenal dengan Om Tayo di media sosial, membuka pembicaraan kami dengan mengeluarkan pembuka, “Aku lagi di fase kebosanan…

Ini langsung memicu pertanyaan lebih lanjut: apa yang menjadi penyebabnya, dan sejak kapan? Apalagi, aku cek trafik media sosialnya, khususnya Instagram, mulai meningkat.


Dia mengawali, “Ya, ada cara yang berbeda ketika jeli mengamati format konten dari awal, dan akhir-akhir ini – aku lebih cenderung ke konten yang ringan dan sekilas dibanding awal aku mengisi beranda pada postingan awal menunjukan bahwa kesannya aku ini sok tahu semua soal kopi. Sekarang lebih ke daily life.”

Pertanyaanku tentang kebosanan, itu mulai dari gaya berkonten atau dunia kopinya?

“Ya bisa jadi memang dari gaya berkonten, tapi sejauh ini aku lama berkecimpung di kopi memang sudah bosen. Betul juga untuk bikin konten yang serius cenderung menyita waktu. Akhirnya mencari niche tertentu dan ketemulah daily life.”

“Malah ketika ketemu orang tanya tentang kopi, aku cenderung menjawabnya datar-datar saja. Kopi di daerah bukan tantangan menarik lagi. Pendekatanku sekarang praktis dan efisien. Dulu, edukasi kopi itu menarik. Di kota-kota besar, antusiasme penikmat kopi tinggi, kedai kopi menjamur. Seperti halnya supply and demand berimbang. Tapi sekarang sudah berbeda. Pertama, keingintahuan orang sudah berkurang karena banyak pilihan. Kedua, informasi mudah didapat, jadi kopi kehilangan nilai eksklusivitasnya. Sekarang, aku fokus bagaimana menyenangkan orang dengan ngopi, bukan hanya soal kopi itu sendiri.”

Nah pendekatan itu kan harus di tempat – offline seperti saat aku disini?

“Tidak harus di tempat, misalnya sekarang aku kan aktif punya booth di Komplek Argopuro – aku sediakan kopi yang umum, malah aku cenderung tidak menampilkan alat kopi untuk menyajikan varian kopi beragam. Selebihnya ketika mereka cocok dengan kopi yang ada, tugasku ingin menyenangkan mereka. Bukan tentang kopi saja, tapi bagaimana aku mengemas tentang suasananya, mood orang pada waktu itu, obrolan atau momennya. Ketika ngobrol bukan lagi sekedar kepo – dilevel permukaan, sehingga bermula dari nimbrung dengan ketidaktahuannya itu bisa nyambung.”

Sebentar, yang aku tangkap bukan kebosanan malah, melainkan telah menemukan suatu gaya atau metode alternatif?

“Ya, itu aku baru menemukan akhir-akhir ini… ketika perspektif menyenangkan orang bukan tentang kopi lagi artinya aku mau membaur, aku telah mengamati berbagai genre dan memang sengaja untuk terlibat ke dalam genre itu, misalnya merambah ke food, atau bahkan non-food. Malahan non-coffee bisa jadi menu andalan. Kopi yang paling laris ya pada saat itu yang aku sajikan.”

“Misalkan ada nih, yang lagi mau nanya teknis soal kopi, ya spontan aku jawab mending ngobrol di rumah – ngobrol lainnya aja di sini hahaha…”

“Ada memang yang diantaranya antusias, beneran datang ke rumah. Responku begini; aku bukannya menyambut respon mereka – justru cenderung mengulur atau kadang mengalihkan topik lain. Aneh memang, namun aku sudah sekian lama di kopi dan juga sudah melewati obrolan mendalam dengan komunitas kopi lainnya. Kata kunci yang mau aku dapatkan adalah feedback. Feedback-nya bukan soal kopi terjual atau dapat pelanggan tetap, tapi lebih luas.”

“Aku lebih membuka diri pada topik yang umum dan merespon latar belakang konsumen, ini juga hasil dari apa yang aku dapatkan setelah sekian lama di Argopuro. Nah, itu kan awalnya juga dari kebosanan?”

“Pada suatu ketika aku gak ngulik kopipun seminggu ya fine fine aja sih. Hari ini tetap kopi adalah need buatku.” Om Tayo meyakinkanku.

Aku mulai memahami, apa yang menjadi landasan kebosanan – Om Tayo sekali lagi tidak sepenuhnya meninggalkan kopi.


Akhirnya, Om Tayo mengakui bahwa yang melatar belakangi adalah rendahnya apresiasi. Aku paham mengingat aku juga berkecimpung di digital marketing – kadangkala effort yang kita keluarkan tak sebanding dengan feedback atau konversi yang diterima. Wajar, ini memang mesti di cari terus penyebabnya – bukan soal menilai komoditas atau pasarnya yang lagi gak mendukung.

Alih-alih berkiblat pada algoritma, ya sekarang mengalir aja yang penting enjoy dan kecintaan pada niche yang kita kuasai tetap ada pada diri masing-masing – begitu aku menambahkan.

Om Tayo menegaskan, “Medsos selama ini dapat menerjemahkan eksistensiku, itu yang aku tetap pegang sampai sekarang.”

“Untuk kopi, ya sewajarnya kalo mau kopi ya aku buatkan – sebatas itu saja sih sekarang. Perspektif umum yang aku pegang sekarang.”

Aku pikir demikian, contohnya – di media sosial sudah banyak yang mengeksplorasi cerutu atau kopi, tapi justru aku membelokkan interest itu. Begitu beragam interest di luar sana – masih banyak ruang lain yang menarik perhatian.

Ketika aku telusuri, kamu sekarang masih di kopi – adakah alternatif lain? sementara kopi itu sengaja kamu sarungkan (tidak ditampakkan), namun bicara bidang lain, apa itu?

“Ya, aku merambah kuliner. Ada sih visi tentang kuliner – kebetulan anak pertama baru masuk SMK agar mengenal hal praktis khususnya kuliner yang bisa dijalankan – siapa tahu dia jadi penerusku. Bahkan tentang kopi aku pantau namun tidak aku direct. Minimal proyeksiku dia bisa mulai mandiri untuk pegang ini di tahun-tahun berikutnya.”

“Bahkan menjelang Ramadhan ini aku mau jualan jajan atau makanan apa yang laris diserbu saat berbuka. Di antara pelanggan, ada yang menyayangkan kenapa kopinya gak lebih di-develop aja …”

Ruang teras depan rumah menjadi meja bar, ukuran yang relatif sempit

Nah sekarang pertanyaanku, gimana peta perkopian di daerah?

“Ya, secara umum sudah bergeser, hype-nya hilang. Mereka (kedai kopi) di antaranya juga mulai merambah kuliner.”

“Aku lebih mengakomodir siapa saja yang sekiranya mudah untuk menghubungiku, aku menyasar kanal medsos yang sementara ini bisa diakses gratis.”

“Ada hal baru yang aku mulai develop, khususnya di bisnis mikro. Ini beda dengan platform lain. IG mengharuskan punya standar visual yang tinggi, TikTok lebih variatif, dan punya kontrol buat audien untuk konten apa saja yang menarik untuk ditampilkan. Sementara Facebook belum punya fitur itu.”

Bagaimana dengan YouTube?

“YouTube disediakan untuk konten panjang, cenderung ke tutorial, podcast, atau konten video panjang lainnya. Di TikTok cenderung menyasar audiens yang menyukai video pendek seperti aku. Ya hitungan menit atau detik bahkan.”

What’s next dengan TikTok?

“TikTok membawa kesegaran baru yang gak dilakukan oleh IG, yaitu konten daily life. FB random, kurang, mulai ditinggalkan. Loyalitas di IG memang ada, namun terbatas, begitu juga di FB. Sementara TikTok saat ini punya audiens yang mendominasi, jadi untuk mendapatkan exposure itu mudah. Selanjutnya TikTok akan mendrive ku untuk bikin konten-konten segar. Itu what’s next yang aku lakukan. Reach bagiku menjadi motivasi untuk bikin konten lebih banyak, dan itu menantang buatku. Nah sekarang kalo di platform lain meski secara visual dan isi itu bagus, gak ada view … ya jadi gak semangat kan.”

“Di TikTok bahkan kita bisa bikin konten spontan aja, pasang hape dan langsung live aja gitu, aku jamin ada yang nonton. Konsep ini yang aku mulai pikirkan, ya perhitungan usia, waktu, bahkan peralatan apa adanya. Cuma satu hal, aku mesti membiasakan rutin. Secara umum, di Indonesia konten daily life lebih mendominasi, maka aku ikuti arus ini.”

“Motivasiku juga untuk menginspirasi orang juga sih, bagaimana rumahku yang begini, dengan setting bar di teras rumah, dan aku dikenal sebagai orang kopi, lho, kok bisa menjalankan dengan kesederhanaan dan apa adanya. Ya inilah aku. Kalo ada orang di posisi yang mirip atau bahkan yang lagi bingung cari peluang apa, bisa saja kan menginspirasi untuk memulai hal yang sama.”

“Aku juga demikian, bisa bicara begini kan ya dari konten mereka yang sudah berhasil juga. Insight inilah yang mendrive dan mencreate. Sama halnya mereka juga mulai dari kecil, dan itu possible di dunia digital. Ini juga review dari mereka, yang membuat nama IG-ku berubah, itu juga aku pikirkan agar orang mudah mengingat. Ya akhirnya branding nama Om Tayo yang sekarang aku pakai. Simple, mudah diingat.”

“Tugasku, mesti detail. Bahkan untuk urusan alamat menuju ke sini, aku mesti bikin video petunjuknya, meski itu semua ada di link yang aku sediakan. Accessible content. Ya gimana lagi orang mintanya begitu, meski sudah ada petunjuknya – yaitu link yang aku sematkan”

Oke kita coba untuk melebar. Bagaimana tanggapanmu buat mereka (penggiat kopi) yang gak aware dengan digital marketing atau perkembangan internet saat ini?”

“Wah bagiku mereka sedang beruntung saja sekarang, tinggal tunggu waktu,” hahaha… om Tayo kali ini tertawa penuh arti.

AA –

Lokasi RSKM (Rumah Seduh Kupiku & Mie):

1

Article Writter By

debako

Dekatkan tembakau dan kopi

Write a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *