Mungkin ini waktunya arus balik. Masyarakat urban yang merayakan Idulfitri di kampung halamannya kini harus kembali ke kota tempat mereka mencari nafkah.

Kampung kelahiranku Surabaya dan aku mudik dari Jember, sebuah kota perkebunan yang telah lama aku menetap di sini sejak masa kuliah di Universitas Jember. Namun, Jember bukan sekadar kota tempat menghidupi diri, tetapi juga menjadi tempat di mana cinta dan passion saya berakar. Suasana pedesaan yang dikelilingi pegunungan, serta perkebunan tembakau yang melengkapi dinamika bisnis pertembakauan, ternyata telah mengikat saya di sini selama bertahun-tahun.
Sejak dulu, saya memiliki impian untuk hidup di desa, tetapi tetap memiliki jaringan pergaulan yang mendunia. Dunia pertembakauan menjadi pintu masuk bagi saya untuk mewujudkan impian tersebut. Saya memiliki kesempatan untuk memperkenalkan tembakau dan Jember dalam berbagai forum serta media nasional dan internasional. Bahkan, saya memperoleh beasiswa di Universiteit van Amsterdam, Belanda, berkat kontribusi saya dalam bidang tembakau dan peran Jember di dalamnya.
Ketika saya terjun dalam bisnis cerutu, seiring dengan perkembangan teknologi dan internet, dunia semakin terbuka. Hal ini memberikan peluang bagi Jember untuk semakin dikenal dan berperan dalam industri pertembakauan global.

Sejak masa kolonial Belanda pada tahun 1800-an, Jember telah menggunakan bahasa tembakau untuk mempengaruhi dunia. Sudah selayaknya saat ini industri pertembakauan terus berkembang, meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi. Cerutu Indonesia juga harus terus berjaya. Pelaku usaha cerutu di Jember menjadi kekuatan dan semangat untuk mengambil peran dalam kancah industri global.
