Percakapan Santai dengan Bustomi di Koplak Food

“Masuk, ngopi dulu mas!” seru Bustomi dari balik ruang tamu begitu aku menyapa dari luar. Seperti biasa, agendaku hari ini adalah berkunjung ke bengkel roastery miliknya, Koplak Food. Ada pesanan kopi dari Jakarta—1 pak Arabika dan 1 pak Robusta—dan hari ini akhirnya dia bisa kutemui setelah kemarin sibuk di luar.

Jam menunjukkan pukul 13 lebih. Bengkel terlihat sepi, tapi di luar lebih nyaman. Meja kecil di dekat mesin roastery menjadi tempat favorit untuk ngobrol sambil menikmati kopi. Dari awal sebelum mematikan mesin motor, terlihat deretan cup kopi beserta varian roasted bean yang sudah tersaji.

“Ini pasti buatku, ya?” tanyaku sambil bercanda.

“Hahaha, sikat wes, keburu dingin! Pilih mana yang paling cocok menurut sampeyan,” jawabnya.

Aku mencicipi keempat cup itu bergiliran. Dua fullwash dan dua natural, semuanya Arabika. Pilihanku jatuh pada cup paling kanan—proses fullwash dengan aroma fruity yang tebal, sedikit herbal, dan kompleksitas rasa yang memanjakan lidah. “Ini, yang ini terbaik,” kataku yakin.

“Wah joss, habiskan… mana yang cocok langsung gas”, begitu timpalnya. Suasana ini membuat mulai dekat, melajutkan obrolan.

Obrolan Kopi dan Wirausaha

Sambil menyeruput kopi, aku bertanya, “Lagi sibuk apa, Mas? Kemarin aku lihat di medsos kayaknya ada kegiatan bareng Pak Ulum.”

“Oh, itu, aku baru ikut pelatihan di coworking space Kolective.id, Gumukmas. Temanya tentang empowering creates leadership and impact. Intinya, gimana menciptakan perubahan melalui wirausaha, khususnya karena lapangan kerja sekarang terbatas dan ada banyak kesenjangan sosial,” jelasnya sambil membuka notes di HPnya.

“Pelatihan berlangsung enam sesi setiap hari Sabtu, tapi Aku hanya sempat ikut lima sesi, bayarnya dapat diskon cukup 250 ribu aja. Materinya padat—dari framework wirausaha, manajemen, marketing, hingga branding. Tools-nya simpel apa aja yang gratisan dari internet, medsos, sampai AI. Salah satu studi kasusnya menarik, soal ibu penjahit bordir – punya dua mesin bordir otomatis, dibantu anaknya yang baru lulus kuliah dan sama Kolective.id dibimbing supaya bisa scale-up,” katanya.

Kolective.id adalah platform edukasi tentang kewirausahaan dan pengembangan diri, di gagas oleh Baitul Ulum dan Yudi. Sementara Ulum adalah temanku yang lama tak berjumpa sejak dia masih kuliah di UNEJ jurusan sastra Inggris. Terakhir yang aku ikuti dia merintis usaha desain grafis, dan sekarang merambah ke spektrum usaha lebih luas sebagai konsultan branding. Suatu pencapaian yang progresif di waktu yang relatif singkat, begitu dalam hatiku menilai.

“Sempat juga aku tanya ke Pak Ulum, apa yang membuat dia terjun di segmen UMKM dan corporate, dia jawab bahwa sejak masih sekolah dan kuliah dia selalu ada saja cara bagaimana dapat duit tambahan, jiwa wirausahanya melekat sejak awal. Yang membuat aku kaget ketika aku bertanya apa sih core-bisnis dari semua yang digarap sampai saat ini. Dia jawab;  “Ya jualan apa aja, karena itu yang aku lakukan sejak dulu” pernyataan buat Bustomi yang melekat.

Keterangan yang out-of-the-box, bukan dijawab spesifik. Teringat aku ide kreatifnya untuk pengadaan buku referensi berbahasa inggris semasa kuliah, dijual di lingkaran mahasiswa termasuk aku juga pernah memesannya dan buku-buku itu ada sampai sekarang. Sejenak aku mengiyakan, sambil termangut.

“Terus, dari hasil pelatihan kemarin ada ide buat diterapin di usaha sekarang?” tanyaku penasaran.

“Sepertinya fokus ke Arabika tahun ini. Stok lagi melimpah. Robusta kan udah ada pasarnya. Aku juga kepikiran bikin event edisi terbatas, misalnya menyediakan menu kayak Americano, espresso, atau es kopi susu di hari tertentu. Tempatnya mungkin di kebun di Tanggul, biar vibes-nya lebih asik buat gathering. Tapi ya, belum tahu kapan bisa terlaksana… lagi fokus jaga istri aja di rumah, hehehe,” jawabnya sambil tertawa kecil.

Bustomi menambahkan, “Tahun ini aku gak begitu banyak dihulu. sudah ada yang mengurusi pak Jum dan Angga yang saling kontak.”

Kopi Sebagai Wirausaha dan Ritual

Bustomi kemudian berbagi pandangannya soal produk yang bagus. Katanya, “Produk yang bagus itu yang menjawab kebutuhan pasar.” Dia juga menyinggung kalau aku cocok untuk berkolaborasi dengan Pak Ulum, menambahkan topik wirausaha sosial ke pelatihan yang sudah ada, begitu tambahnya setelah aku sekilas share tentang gagasan itu.

Aku mengangguk setuju. “Yang penting mindset dulu. Kita harus tahu siapa subjek yang ingin kita bantu, perubahan apa yang dicapai dan apa dampaknya. Wirausaha sosial kan nggak harus dimulai dari orang yang udah mapan, memang yang nampak dipermukaan rata-rata mereka punya privilege. Mestinya bahkan dari skala kecil pun bisa, seperti kita ini apa yang bisa dilakukan, kadang gak terlihat – grass root movement. Kalau dampaknya besar, value yang kita dapat juga lebih besar.”

Bustomi setuju. “Kopi itu komoditas yang menarik untuk medium wirausaha sosial. Target market-nya jelas—orang-orang yang butuh kafein, terutama yang kerja lembur di depan laptop, kebanyakan anak muda produktif”

Aku menambahkan, “Iya, kopi juga jadi media ritual, ya… Hal sederhana yang sesederhana itu dilakukan berulang-ulang, tapi ada kenikmatan tersendiri.”

Bustomi tersenyum. “Betul-betul. Ritual itu bikin kopi nggak cuma soal minuman, tapi pengalaman.”

Santai Tanpa Gangguan

Obrolan kami mengalir begitu saja dari tadi tanpa sesekali cek HP —area luar memang belum terjangkau koneksi Wi-Fi. “Dalam waktu dekat, aku mau pasang router tepat diatas sini,” katanya.

Aku menyela, sambil tersenyum “Wah, mending nggak usah. Biar pengunjung makin betah menikmati kopinya, tak terdistraksi, fokus sama ritualnya.”


Kami tertawa kecil, sementara langit mulai mendung. Sebelum hujan turun, aku berpamitan. “Sampai ketemu lagi, Mas. Kopinya selalu mantap!” Sambil aku habiskan air mineral sebagai penutup perjumpaan ini.

Hari ini aku pulang dengan pikiran yang segar, dapat kopi pesanan, obrolan mengalir dari secangkir kopi yang memberi kesan dan inspirasi baru di kepala. Salam, Aan Anugrah.

Lokasi:

AA –

Article Writter By

debako

Dekatkan tembakau dan kopi
  1. Neal

    Your writing style is compelling; it feels like having a conversation with a friend.

Write a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *