InterTabac Exhibition dan Peluang Cerutu Indonesia

(Tulisan ini untuk menyambut Pameran Inter Tabac, 18-20 September di Dortmund, Jerman) Foto: InterTabac

Elok Mahbub (cigar and tobacco enthusiast)

Latar Belakang Global dan Sejarah

Perdagangan tembakau dunia mengalami pergeseran ruang dan momentum. Pada abad ke-17 hingga awal abad ke-20, Bremen, Jerman, menjadi pusat lelang daun tembakau internasional. Dari kota pelabuhan inilah tembakau-tembakau terbaik dunia—termasuk dari Deli (Sumatra) dan Besuki (Jawa Timur, Indonesia)—dikenal dan dipasarkan. Namun, sejak akhir 1970-an, peta perdagangan mulai berubah.

Tahun 1978, lahir InterTabac di Dortmund Jerman, sebuah pameran internasional yang tidak lagi sekadar menampilkan daun mentah, tetapi produk jadi, cerutu, rokok, hingga teknologi pengolahan. Pergeseran ini menandai transisi: dari Bremen sebagai simbol sejarah lelang daun, ke Dortmund sebagai etalase global tren industri tembakau modern. Dalam konteks ini, Indonesia punya posisi unik: tetap dikenal sebagai penyedia daun bersejarah, sekaligus berpeluang menempatkan cerutu jadinya di panggung dunia.

InterTabac sebagai Barometer Industri Dunia

InterTabac kini disebut sebagai pameran tembakau terbesar di dunia. Tahun 2024 Intertabac diikuti 800 peserta dari 70 negara, jumlah pengunjung 14.500 – mulai dari pabrikan cerutu premium, distributor, hingga pelaku teknologi pengolahan. Pameran ini menjadi ajang barometer: siapa pemain baru, merek mana yang menguat, dan tren konsumsi ke arah mana bergerak (premiumisasi, diversifikasi rasa, hingga tren gaya hidup). Bagi Indonesia, kehadiran di forum ini bukan sekadar pamer produk, melainkan menunjukkan eksistensi di tengah pemain besar seperti Kuba, Republik Dominika, dan Nikaragua.

Posisi Indonesia di Pasar Global

Indonesia memiliki dua modal utama:

  • Daun tembakau Besuki Na-Oogst (BNO) yang sejak lama diakui kualitasnya untuk pembalut (wrapper) cerutu dunia.
  • Pabrik dan merek cerutu domestik seperti Taru Martani (Yogyakarta), BIN Cigar (Jember), Besuki Raya Cigar (Jember), hingga merek-merek yang mulai bereksperimen dengan branding kontemporer.

Namun, Indonesia belum maksimal dalam “cerutu jadi” di pasar internasional. Daun tembakau kita dipakai di cerutu Kuba, Dominika, atau Eropa, tetapi nama “Indonesia” jarang muncul di banderol cerutu. InterTabac bisa menjadi ruang untuk memperbaiki kondisi itu.

Tantangan dan Peluang

Ada beberapa tantangan utama:

  • Branding: Indonesia masih lebih dikenal sebagai pemasok bahan, bukan pemain utama produk jadi.
  • Regulasi dan Cukai: Pajak tinggi, baik domestik maupun di negara tujuan ekspor, membatasi penetrasi pasar.
  • Promosi: Belum ada kampanye kolektif seperti “Cuban Cigars” atau “Dominican Cigars”.

Namun, peluang juga nyata:

  • Tren premiumisasi di pasar cerutu dunia mendorong konsumen mencari flavor dan cerita baru—ruang yang bisa diisi Indonesia dengan narasi tembakau bersejarah dari Deli dan Besuki.
  • Diversifikasi produk: Cerutu handmade Indonesia dengan cita rasa khas bisa menembus segmen niche, khususnya di Eropa dan Asia.
  • Pameran global: Kehadiran rutin di InterTabac memberi kredibilitas dan jaringan langsung dengan buyer internasional.

Strategi ke Depan

Untuk mengoptimalkan peluang, Indonesia perlu:

  1. Membangun branding kolektif: “Indonesian Cigars” sebagai identitas, seperti kopi Indonesia yang kini punya merek global.
  2. Menghadirkan cerita (storytelling): Mengangkat kisah Deli, Besuki, atau tradisi tembakau di Nusantara, agar konsumen tidak sekadar membeli produk, tetapi juga sejarah.
  3. Meningkatkan kualitas produksi dan konsistensi: Standar internasional harus jadi acuan, baik untuk ekspor maupun pasar dalam negeri.
  4. Kolaborasi dengan buyer dan distributor global: Bukan hanya menjual produk, tapi membangun jejaring permanen.
  5. Memanfaatkan event seperti InterTabac sebagai panggung tahunan untuk eksistensi dan penetrasi pasar baru.


1

Write a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *