Potret Petani Tembakau di Jember

Sejarah dan Latar Belakang

Catatan sejarah menjelaskan bahwa awal pertumbuhan Kabupaten Jember dipicu oleh hadirnya sejumlah komoditas perkebunan, seperti gula, kopi, cokelat, dan tembakau. Kondisi iklim dan geografis Jember terbukti cocok untuk tanaman-tanaman tersebut.

Khususnya tembakau, tanaman semusim ini menjadi pilihan utama dalam rotasi tanam tahunan. Kultur masyarakat pun terbentuk sebagai petani padi dan tembakau. Migrasi penduduk ke Jember banyak membawa latar belakang pertanian, termasuk sebagai petani tembakau. Hingga kini, tradisi menanam tembakau tetap terjaga lintas generasi dan tersebar hampir di seluruh wilayah Jember.

Pada musim kemarau, petani lebih memilih menanam tembakau dibandingkan jagung, umbi-umbian, atau kacang-kacangan. Meski jumlah petani dan luas lahan tembakau terus menurun dari tahun ke tahun, sebagian petani tetap bertahan dengan alasan dan cara pandang tersendiri.

Alasan Petani Menanam Tembakau

  1. Nilai Ekonomi
    Hasil tembakau relatif lebih menguntungkan dibandingkan tanaman lain. Namun, risiko kerugian juga tinggi akibat faktor cuaca, hama penyakit, biaya produksi mahal, serta tidak adanya standar harga yang jelas. Permainan harga oleh belandang atau makelar sering merugikan petani.
  2. Nilai Sosial dan Prestise
    Menjadi petani tembakau bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga status sosial. Keberhasilan menanam tembakau meningkatkan penghormatan dari masyarakat. Keuntungan yang diperoleh memberi kebanggaan tersendiri, mengingat proses budidayanya panjang, rumit, dan membutuhkan banyak tenaga, pikiran, serta biaya.
  3. Nilai Tradisi dan Budaya
    Menanam tembakau telah menjadi tradisi turun-temurun di berbagai desa di Jember. Budidaya tembakau identik dengan kebersamaan dan gotong royong, terutama pada tahap penanaman dan panen yang memerlukan banyak tenaga kerja.

Profil Petani

Survei menunjukkan, usia petani tembakau di Jember berkisar antara 35–70 tahun. Mereka umumnya tinggal bersama istri dan anak. Pendidikan terakhir mayoritas adalah Sekolah Dasar (SD).

Status lahan terdiri atas milik sendiri maupun sistem gaden. Secara ekonomi, petani tembakau tergolong cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup, meskipun sebagian juga bekerja sebagai buruh guna menambah penghasilan.

Sejarah Kepemilikan Lahan

Sebagian besar lahan tembakau diwariskan turun-temurun dari kakek-nenek, lalu ke orang tua, dan akhirnya ke petani sekarang. Selain lahan milik sendiri, ada pula lahan gaden untuk memperluas produksi.

Umumnya hanya salah satu pasangan (suami/istri) yang mewarisi keterampilan budidaya tembakau dari orang tua, kemudian pasangannya ikut terlibat setelah menikah. Rata-rata luas lahan 2.500 m², meskipun bisa bertambah lewat sistem gaden.

Hasil tembakau sangat dipengaruhi cuaca. Jika terjadi hujan abu atau cuaca buruk, kualitas turun drastis sehingga menyebabkan kerugian besar.

Gambaran Proses Kerja

Petani mengelola seluruh tahapan mulai dari persiapan tanam hingga pengeringan untuk menghemat biaya. Mereka dibantu anggota keluarga, terutama orang tua dan anak.

Sistem tumpang sari dengan padi atau jagung sering dipraktikkan. Benih biasanya diperoleh dari petani lain yang menyimpan hasil persemaian.

Biaya

Biaya budidaya tembakau berasal dari dana pribadi yang sudah dipisahkan dari kebutuhan rumah tangga sehari-hari.

Pemasaran

Tembakau dijual langsung ke gudang pembelian atau tengkulak. Harga ditentukan berdasarkan urutan panen:

  • Panen pertama → harga terendah
  • Panen kedua → harga sedang
  • Panen ketiga/terakhir → harga tertinggi

Pengetahuan Petani

Sebagian besar petani belajar tembakau sejak remaja dengan membantu orang tua. Mereka mengikuti teknik turun-temurun, dan jika menemui kesulitan, biasanya bertanya kepada petani senior atau karyawan perusahaan yang dikenal.

Sayangnya, pengetahuan resmi dari penyuluh pertanian jarang diperoleh karena petani kurang aktif mengikuti kelompok tani. Akibatnya, akses informasi dan inovasi teknis masih terbatas.

Write a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *