Elok Mahbub (Cigar and Tobacco Enthusiast)
Kilas Sejarah Kejayaan Tembakau Deli Sumatra.
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, tembakau Deli (Sumatra Utara) menjadi primadona dunia, sebagai rujukan wrapper cerutu kelas dunia. Daunnya tipis, lentur, berwarna cerah, dan memberi profil rasa halus—sangat cocok sebagai pembungkus (wrapper) untuk cerutu premium. Sistem shade-grown tradisional, tata kelola perkebunan kolonial Belanda, serta jaringan ekspor ke pelabuhan Eropa (lelang Bremen, markas perdagangan Belanda) menempatkan “Sumatra” sebagai merek dagang kualitas tinggi. Di masa itu, nama Sumatra berarti akses ke pasar premium Eropa dan Amerika.

Era Kemunduran Sumatra, Seiring Munculnya Ecuador
Seiring perjalanan waktu, faktor degradasi lahan, perubahan sosial-ekonomi, hingga
minimnya investasi membuat produksi tembakau Deli menurun drastis. Di ranah lain, sejak 1960–1970-an, benih Sumatra seed dibawa ke Ekuador dan tumbuh subur dalam kondisi natural shade (naungan awan tipis). Kelebihan Ekuador: iklim lebih stabil untuk wrapper, biaya produksi lebih rendah (tanpa kebutuhan shade cloth), dan investasi terintegrasi oleh pemain industri cerutu besar. Hasilnya: “Ecuador Sumatra” muncul (1970–1990an) sebagai produk wrapper yang konsisten, terstandar, dan bisa memenuhi permintaan global — sehingga pada akhirnya nama “Sumatra” dalam katalog modern lebih sering diasosiasikan dengan Ekuador ketimbang Deli.
Perbandingan Ori Sumatra dengan Ecuador.
Secara kualitas, tembakau Deli Sumatra tetap memiliki keunikan tersendiri: kelembutan,
warna cerah, dan aroma khas tropis yang sulit ditiru. Namun Ecuador unggul dalam
stabilitas pasokan, konsistensi mutu, serta keberhasilan branding global. Pasar pun
lebih mengenal “Ecuador Sumatra” ketimbang “Original Sumatra”.
Pelajaran bagi Indonesia.
Kasus ini memberikan pelajaran penting: reputasi dan sejarah tidak cukup jika tidak
ditopang oleh manajemen, inovasi, dan keberlanjutan. Indonesia perlu menata ulang
strategi dari hulu ke hilir—mulai dari riset benih, perbaikan lahan, hingga promosi
global yang konsisten. Tembakau Deli Sumatra adalah heritage yang seharusnya
dikelola sebagai aset nasional, bukan sekadar komoditas lokal. Beberapa catatan penting sebagai berikut:
- Konsistensi mengalahkan nostalgia.
- Investasi pada rantai pasok (supply chain) adalah kunci.
- Branding tanpa kapasitas hanyalah klaim.
- Perlindungan agro-strategis perlu kebijakan.
- Segmen berbeda butuh strategi berbeda.
Peluang Kembali untuk Berjaya.
Meskipun Ecuador kini mendominasi, peluang kebangkitan tetap ada. Indonesia bisa
menggandeng produsen global, memanfaatkan tren cerutu premium, serta mengangkat
narasi heritage sebagai diferensiasi. Sama seperti Champagne di Prancis atau Scotch di Skotlandia, Original Sumatra Deli bisa diposisikan sebagai warisan geografis otentik. Upaya replika daun Sumatera yang sedang dilakukan di beberapa daerah (misalnya Jember) dapat menjadi pijakan strategis. Dengan kemauan politik, investasi, dan branding yang tepat, nama “Sumatra–Indonesia” masih berpotensi bergaung kembali di panggung perdagangan cerutu dunia.
Note: Penulisan “Sumatra” lebih dipilih, karena lebih dikenal di dunia global, daripada “Sumatera”
